DUA JURNALIS FOTO TEWAS DALAM KONFLIK DI LIBYA

Dua fotografer paling terkenal dalam liputan perang, tewas oleh tembakan mortar yang dilepaskan pasukan Moammar Khadafy di Misrata, Libya, hari Rabu, 20April 2011.

Chris Hondros ( 41 thn) dan Hetherington (40 thn) mempertaruhkan hidup mereka untuk meliput konflik di berbagai belahan dunia.Keduanya pernah pula menjadi finalis Pulitzer Prize.

Chris Hondros, koresponden senior Getty Images dan temannya Tim Hetherington, nominator Oscar untuk film documenter di Afghanistan berjudul Restrepo terkena roket saat pasukan loyalis Khadafy membom Misrata.

“Masyarakat artistik dan jurnalistik telah kehilangan dua bintang bersinar,” kata Mikha Garen, rekannya dalam pembuatan film documenter.

Hetherington, seorang warga Inggris yang tinggal di Williamsburg, sempat menulis pesan tweeternya pada hari Selasa,”Misrata dikepung. Tembakan membabi buta pasukan Khadafi. Tidak ada tanda NATO..”

Sebastian Junger, penulis buku terlaris The Perfect Storm, menyebut Hetherington sebagai jurnalis paling berani yang pernah dikenalnya.

“Tidak ada cara untuk mengungkapkan kehancuran dan kesedihan saya pada kematian sahabatku,” kata Junger, yang pernah melakukan perjalanan berbahaya ke Lembah Korengal di Afghanistan bersama Hetherington.  Keduanya terlibat dalam pembuatan film documenter Restrepo yang mendapat nominasi Piala Oscar. Tim Hetherington, nominator Oscar untuk kategori sutradara film documenter. Film ini menjadi film documenter terbaik Festival Film Sundance 2010.

Tim Hetherington

Melalui karyanya, Hetherington berusaha menunjukkan sisi manusiawi para tentara di medan perang.

Belum lama ini Hetherington memenangkan penghargaan untuk karya dokumenter Restrepo. Sebuah film yang menggambarkan kehidupan sebuah peleton tentara Amerika yang beroperasi di wilayah berbahaya di Korengal Valley, Afghanistan.

Selama waktu itu, Hetherington juga merilis buku yang memuat karya foto-foto terakhirnya. Serangkaian foto tentara yang ditampilkan baik sebagai agressors dan korban perang.

“Tim selalu berusaha menyatukan potongan-potongan dari semua berita yang sedang terjadi di sekelilingnya, untuk mencari tahu bagaimana menceritakan kisah keseluruhan mereka. Dia melakukan itu dalam situasi perang dan secara lebih khusus bersama tentara yang pergi berperang, “tulis Paul Moakley, teman Hertherington dan staf penulis di Majalah Time.

Dalam salah satu tulisannya, Tim Hetherington menulis,

“Sebagai fotografer, kita sering berpikir tentang mesin perang melalui gambar rudal, tank dan helikopter apache. Tetapi aku datang untuk menunjukkan mesin perang ini, pada kenyataannya, sangat manusiawi. Ambil contoh, sekelompok pemuda, melatih mereka bersama-sama, menempatkan mereka di sisi gunung dan mereka akan membunuh dan dibunuh untuk satu sama lain.”

Chris Hondros

Sementara Chris Hondros yang berkewarganegaan Amerika, sepanjang karirnya yang 20 tahun, kerap kali lolos dari maut saat meliput beberapa konflik terburuk di dunia. Termasuk di Kosovo, Sierra Leone, Kashmir, Tepi Barat, Afghanistan dan Irak.

Chris menjadi finalis Pulitzer atas karyanya saat meliput konflik di Liberia.

“Ia akan menikah pada bulan Agustus, “kata Stephanie Gaskell, seorang mantan koresponden perang Daily News.

“Chris tergolong fotografer perang yang terbaik. Sifatnya rendah hati, hati-hati dan selalu ingin membantu orang lain.Dia adalah sebuah inspirasi bagi kita semua dan seorang teman baik. Kami semua berdoa untuknya,” katanya.

Belum lama ini, Hondros juga menyajikan sejumlah foto kerusuhan di Tahrir Square, Mesir.  Dia sempat membandingkan kerusuhan itu dengan “pemberontakan budak di zaman Fir’aun, empat ribu tahun yang lalu.”

Bulan lalu, Hondros  menulis dalam Chicago Tribune. Sebuah tulisan yang merupakan prinsip dasar sebuah liputan jurnalistik di wilayah konflik perang.

“…Bersiaplah untuk kondisi yang tak terduga. Jaga dan simpan fotomu. Ingatlah, bagaimana cepatnya situasi yang aman berubah menjadi berbahaya.”

BaNi MusTajaB

karya foto Chris Hondros di Libya

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

“Restrepo” Trailer