PERAN PESANTREN DALAM SEJARAH NUSANTARA


 

Ketika berkunjung ke Pesantren Darul Ulum Assar’iyyah (Pondok Jolotundo) di desa Seloliman, Mojokerto, Jawa Timur, saya menyempatkan diri berbincang dengan KH.Manshur (70 tahun), pimpinan pesantren tersebut.

Sebenarnya saat itu saya hendak membahas seputar peran pesantren dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun ternyata pembahasan tersebut melebar hingga masa-masa negeri ini masih dikuasai kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Siliwangi hingga berdirinya kerajaan Islam pertama di Nusantara. Meskipun demikian, ada beberapa hal menarik dari hasil pembicaraan saya dengan Mbah Manshur, demikian saya menyapanya.
“Pada masa Tanah Jawa ini masih berdiri kerajaan non Muslim, para pedagang Islam, khususnya dari Tanah Arab dan sekitarnya, berdatangan dengan tujuan berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam,” kata Mbah Manshur.
“Tetapi diantara mereka ada juga yang secara khusus menyiapkan berdirinya kerajaan Islam di Tanah Jawa,” lanjutnya.

Pesantren Ampel Denta
Menurutnya, ada perbedaan prinsipil diantara orang yang berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam dengan orang yang memang secara khusus hendak membentuk komunitas Muslim di negeri ini. Dalam hal yang disebut terakhir, perbedaan tersebut terletak pada terbentuknya pesantren. Diantara pesantren yang paling awal berdiri adalah Pesantren Ampel Denta yang dipimpin Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan bertempat di Surabaya. Beliau adalah putera dari Syekh Maulana Malik Ibrahim bapak para wali tanah Jawa dari ibu seorang puteri Raja Campa (Kamboja).
Sejarah mencatat bahwa sosok Raden Rahmat melanjutkan perjuangan bapaknya dalam menegakan Islam di Tanah Jawa. Raden Rahmat menetap di Ampel Denta. Menurut penuturan Babad Gresik, Raden Rahmat berhasil menjadikan daerah Ampel Denta yang semula berair dan berlumpur menjadi daerah yang makmur. Di sini beliau mendirikan pesantren, sehingga Ampel menjadi pusat dakwah Islam, sehingga Raden Rahmat digelari Sunan Ampel.
Intensitas perjuangan penegakan Islam di tanah Jawa lebih akseleratif dan terorganisir dimulai sejak kepemimpinan Sunan Ampel yaitu dengan merintis tanah Ampel Denta sebagai basis dakwah sekitar tahun 1422 M, sampai kejatuhan Kerajaan Majapahit tahun 1478 M atau sekitar 56 tahun.
Hingga wafatnya pada 1478 M, beliau memiliki jasa-jasa yang besar. Diantaranya adalah: lahirnya basis-basis personal yang berjiwa tauhid dan bermental jihad yang menjadi roh bagi perjuangan penegakan Islam menyongsong meluasnya Islam di Tanah Jawa. Ampel Denta menjadi pusat dakwah Islam di Tanah Jawa yang selanjutnya terjadi penyebaran hampir di seluruh wilayah Kerajaan Majapahit. Sunan Ampel berhasil membentuk para kader dakwah Ampel Denta menjadi pelopor perjuangan Islam di Tanah Jawa, khususnya di daerah-daerah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya, seorang pangeran bintara yang bernama Raden Fatah berhasil merealisasikan berdirinya Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Sunan Ampel sendiri wafat bersamaan runtuhnya Majapahit, setelah menghantarkan berdirinya Negara Islam Demak.

Pesantren Selawe
Seiring perjalanan waktu, di tengah hiruk pikuknya jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, lalu datanglah penjajah Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman. Dia mendarat pertama kali pada tahun 1596. Pada awalnya, rombongan de Houtman mendarat di Banten dengan alasan untuk berdagang, akan tetapi dalam perkembangan berikutnya bangsa Belanda bersikap kurang bersahabat sehingga mereka diusir dari kerajaan Banten.
Dalam perkembangan berikutnya, Belanda berubah menjadi kekuatan yang tidak sebatas berdagang, tetapi ikut campur, yakni dengan mengendalikan pemerintahan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Penindasan Belanda yang kejam sangat menyengsarakan rakyat Indonesia hingga menimbulkan perlawanan di beberapa daerah di Indonesia.
Diantara perlawanan rakyat yang tergolong paling dahsyat adalah terjadinya Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Perang yang memakan biaya dan korban yang cukup besar ini berakhir dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro di Magelang karena dikhianati Jenderal De Kock.
Meskipun saat itu sangat banyak anggota pasukan Diponegoro yang ditangkap dan dieksekusi Belanda, namun ada diantara mereka yang melarikan diri ke berbagai daerah. Diantara mereka adalah sekelompok orang yang melarikan diri dan menetap di sebuah pondok di Jombang.
Ketika itu di Jombong terdapat sebuah pesantren yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Selawe yang berdiri pada 1825 di Dusun Tambakberas, Desa Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur. Berdirinya pondok ini berawal dari kedatangan seorang ulama bernama Abdus Salam yang dikenal dengan nama panggilan Mbah Shoichah. Kedatangan beliau membawa misi menyebarkan agama Islam.
Kedatangan Abdus Salam di Desa ini semula masih merupakan hutan belantara, kurang lebih 13 tahun dia bergelut dengan semak belukar dan kemudian dijadikan perkampungan yang dihuni oleh komunitas manusia. Di sinilah dia berdakwah dengan mendirikan pesantren kecil. Pondok pesantren inilah yang dikenal dengan sebutan Pondok Selawe dikarenakan jumlah santri yang berjumlah 25 orang yang berasal dari anggota pejuang Pangeran Diponegoro. Hal ini terjadi pada tahun 1838 M.(Saat ini pondok selawe dikenal dengan nama Pondok Pesantren Bahrul Ulum. Di lokasi ini pula cikal bakal terbentuknya organisasi Nahdlatul Ulama.
Sebagaimana diketahui, di pondok pesantren ini terdapat makam keluarga bani Chasbullah. Diantaranya makam KH Abdul Wahab Chasbullah, pendiri dan penggerak Nahdhatul Ulama (NU). Salah satu pendiri NU ini dikenal pula dengan sebutan Mbah Wahab yang merupakan generasi ke-4 dari pendiri Pondok Selawe.
Berkaitan dengan hal ini, Mbah Manshur mengungkapkan bahwa ada pergeseran pemikiran terhadap para ulama yang hidup pada masa Pesantren Ampel Denta dengan para ulama pada masa Pesantren Selawe. Khususnya menyangkut pola kaderisasi. Jika pada masa Pesantren Ampel Denta, para kader dakwah menjadi pelopor berdirinya kerajaan Islam pertama di Nusantara, maka para kader dakwah Pesantren Selawe menjadi pelopor berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
“Hal itu menunjukkan para kader dakwah yang hidup usai Perang Diponegoro itu lebih realistis dalam melihat kondisi kemajemukan di masyarakat. Mereka tidak menuntut berdirinya kerajaan Islam lagi, tetapi memilih berdirinya NKRI,” ujar Mbah Manshur.
Selanjutnya Mbah Manshur mengatakan bahwa sejak proklamasi 68 tahun lalu ini, NKRI mengalami pasang surut perkembangannya. Meski begitu ada satu tujuan yang sama yaitu terciptanya kemakmuran di seluruh negeri. Tujuan ini belum tercapai.
“Kemakmuran itu belum dirasakan saat ini. Tetapi saya yakin pasti ada orang-orang yang memikirkan hal ini,” katanya.
“Apakah menurut Mbah, para pemikir itu juga berasal dari kalangan pesantren sebagaimana Pesantren Ampel Denta dan Pesantren Selawe ?”Tanya saya ingin tahu.
“Tentu saja tidak. Para pemikir itu bisa datang dari kalangan mana saja. Tidak harus dari pesantren,” jawab Mbah Manshur.
Mbah Manshur mengungkapkan bahwa dirinya biasa bertemu dengan orang-orang dengan latar belakang berbeda, termasuk yang berbeda keyakinan. Mereka sering membicarakan seputar bagaimana menuju kemakmuran bangsa ini. Semua itu menunjukkan bahwa kepedulian terhadap bangsa ini sangat tinggi.
Menuju kemakmuran negeri ini tentu tidak harus dilakukan kelompok tertentu. Dan tidak pula dibutuhkan penonton. Kita semua adalah pelaku di dalamnya.(Agus Siswanto)

Fb: Em Agus Siswanto (maniakgaib@gmail.com)

KH. Manshur

KH. Mbah Manshur

Penulis: M Agus Siswanto

https://gus7.wordpress.com (Blog BaNi MusTajaB). Blog ini sekadar kumpulan tulisan pribadi maupun orang lain. Tentu yang saya anggap menarik. Terkadang ada tulisan ringan, tapi tidak sedikit yang bikin pusing. Semoga bermanfaat. Aamiin. Penulis: M Agus Siswanto Mantan Jurnalis Majalah Misteri,Jakarta. email: maniakgaib@gmail.com 08176645205

19 tanggapan untuk “PERAN PESANTREN DALAM SEJARAH NUSANTARA”

Tinggalkan komentar