HIKMAH SEBUTIR NASI

Pada 14 Maret 2010 lalu, saya menghadiri Maulid Nabi Muhammad SAW. Tepatnya di Pesantren Jam’ul Ijazah di kediaman H. Idris Nawawi di Cirebon. Bertindak sebagai Penceramah adalah Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Habib Luthfi Pekalongan. Beliau adalah kata Ketua Jam’iyyah Ahlith ath-Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah, perkumpulan tarekat yang diakui (mu’tabar) di bawah Nahdlatul Ulama.

Dalam hikmah ceramahnya, Habib Luthfi menguraikan beberapa hal, diantaranya  sebutir nasi. Beliau mengatakan bahwa sebutir nasi yang kita makan sesungguhnya melalui tahapan atau proses yang panjang.

Berawal dari petani yang membajak sawah agar tanahnya menjadi gembur. Kemudian ditaburlah benih-benih padi di sawah. Sambil menunggu benih-benih tersebut tumbuh berkembang, sang petani senantiasa mengawasi sawahnya agar terhindar dari gangguan hama.

Pada saat panen, sang petani saling bergotong royong bersama warga sekitar untuk menuai padi. Mereka bekerja tanpa kenal lelah agar gabah yang terkumpul menjadi butiran-butiran padi yang kemudian dimasukkan ke dalam karung-karung dan siap dikirim ke para pedagang beras.

Setelah beras berada di toko atau warung penjual beras, kita  kemudian membelinya untuk di bawa ke rumah. Selanjutnya beras di masak dan siap dihidangkan.

Habib Luthfi mengungkapkan proses panjang perjalanan benih padi hingga menjadi nasi dan siap dimakan tersebut hendaknya mengingatkan kita untuk senantiasa berdoa saat hendak memakannya.

Sebagaimana diketahui, doa sebelum makan adalah “ALLOOHUMMA BAARIK LANAA FIIMA ROZAQTANAA WAQINAA ‘ADZAABANNAAR“ ( Yaa Allah, berkatilah rezeki yang Engkau berikan kepada kami, dan peliharalah kami dari siksa api neraka)

Menurut Habib Luthfi, pada saat kita membaca doa tersebut, sesungguhnya kita juga ikut mendoakan semua orang yang terlibat dalam proses perjalanan beras yang diuraikan di atas. Dengan kata lain, peluh keringat para petani, masyarakat, pedagang beras, supir yang mengantarkan beras dan orang yang memasak beras tersebut mendapat bagian dari doa yang kita panjatkan tersebut.

Hikmah dari itu semua adalah bahwa nasi yang kita makan itu hendaknya menjadi sarana atau alat bagi kita untuk senantiasa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Kita harus malu, jika nasi yang kita makan itu tidak menimbulkan hasrat diri kita untuk lebih bertakwa.

Pada bagian lain dari ceramahnya, Habib Luthfi menguraikan pula seputar ‘orang mati yang memberi makan orang hidup’.

Maksud perkataan beliau adalah orang-orang suci, seperti para waliyullah, hingga kini makamnya senantiasa diziarahi. Ribuan orang dari berbagai daerah datang ke makam waliyulloh untuk membacakan doa. Bahkan ada diantaranya yang datang dari luar negeri.

Dengan sendirinya, kedatangan orang-orang tersebut juga mengundang para pedagang untuk berada di areal sekitar makam. Mereka berdagang untuk memenuhi hajat para peziarah, seperti makanan dan keperluan lainnya. Termasuk pula orang-orang yang menyediakan tempat penginapan, toilet dan mengatur tempat parkir.

Orang-orang ini mendapatkan rezeki berupa materi atau uang dari para peziarah. Inilah yang dimaksudkan bahwa orang yang telah mati (para waliyulloh) itu seolah-olah masih memberi makan orang yang hidup. Tentu saja hakekat sesungguhnya adalah rezeki datangnya dari Allah SWT.

Hikmahnya adalah hendaknya kita dapat meniru suri tauladan yang ditunjukkan oleh para waliyulloh itu semasa hidupnya.

BaNi MusTajaB

Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya

Catatan:

1. Sebulan setelah acara maulid, terjadi tragedi Tanjung Priok 14 April 2010. Peristiwa tersebut mengingatkan saya pada ceramah Habib Luthfi, terutama menyangkut makam waliyulloh.

2. Mohon maaf jika belum sempat membalas komentar dan blogwalking. Akibat dari semua itu, page rank blog ini turun. Tapi apalah arti page rank dibandingkan silaturahmi di alam maya.

3. Blog ini berganti themes lagi. Sekadar memancing gairah menulis. Mohon maklum.