PERAYAAN CAP GOMEH DAN RITUAL DEWI BULAN

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Pada Selasa 9 Februari 2009, sekitar pukul 20.00 WIB, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) bersama Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) menggelar acara Festival Bulan Purnama di stand Istana Anak-Anak Indonesia. Acara itu sekaligus juga menandai penutupan Pekan Budaya Tionghoa Indonesia TMII.

Acara ini merupakan bagian dari perayaan Cap Go Meh. Sebagaimana ditulis Wikipedia, Cap Go Meh ini melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek (saat ini tahun 2560) bagi komunitas Tionghoa yang tinggal di luar Cina. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien yang bermakna hari kelima belas dari bulan pertama yang juga merupakan bulan penuh pertama dalam Tahun Baru tersebut.

Penulis sengaja menyempatkan diri untuk melihat perayaan tersebut. Ternyata acaranya cukup menarik dan unik. Terutama karena materi acaranya cukup beragam,seperti sajian tari dari Suku Dayak Kalimantan dan Nusa Tenggara Barat. Jadi tidak hanya tarian Barongsai khas Cina.Ada pula sejumlah atraksi debus (kekebalan) dari etnis Tionghoa dan juga dari kelompok Pagar Nusa. Di samping upacara memberi energi supranatural pada keris. Dapat dikatakan, acara ini memang memadukan berbagai unsur budaya di negeri ini.

Acara ini juga dihadiri tokoh-tokoh spiritual dari berbagai daerah yang mengadakan semacam ruwatan atau ritual Dewi Bulan Purnama. Yang disebut terakhir itu bermakna mengambil aura bulan purnama dan mandi suci buang sial di Sendang Sejodo yang berada di Istana Anak-Anak Indonesia.

Sendang Sejodo adalah semacam sumber mata air yang kini menjadi bagian dari kolam renang. Tetapi dibatasi tembok. Sendang ini kabarnya biasa dijadikan tempat melakukan ritual supramistis.

Selain yang disebutkan di atas, rangkaian acara lainnya adalah rebutan hue dan kue ranjang yang telah diberkati sejumlah tokoh spiritual Tionghoa. Acara rebutan makanan tentu saja menarik. Penonton saling memperebutkan kue yang tidak seberapa banyak itu.Mirip dengan rebutan tumpengan saat Grebeg Maulud di Kraton Solo dan Kraton Yogyakarta.

Acara wayang Po The Hi juga tergolong unik. Selama ini penulis lebih sering melihatnya sekilas saat menonton film Mandarin.Kenyataannya, wayang khas Cina ini juga eksis di sini. Meski tampaknya tidak terlalu populer.

Wayang Po The Hi menampilkan lakon Sie Kong dalam petualangan dengan dalang Seehu Tan Bun Siang, dkk dari Klenteng Sidoarjo Jawa Timur.

Kehadiran acara semacam ini tentu sangat menggembirakan. Seperti dikatakan Ade F. Meyliala, Direktur Operasi TMII,” Etnis Tionghoa sudah ada di Indonesia sejak dahulu dan hidup berbaur dengan semuanya. Jadi TMII melihat etnis Tionghoa ini sebagai salah satu etnis yang ada di Indonesia, bagian dari kesatuan negara Republik Indonesia.”

Sebelum reformasi 1998, etnis Tionghoa nyaris dilarang mengadakan acara yang terkait dengan budayanya. Orde Baru seolah memandang etnis ini sebagai sesuatu yang harus diwaspadai. Syukurlah, Orba telah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini.

BaNi MusTajaB


Catatan:
Ade F. Meyliala, Direktur Operasi TMII (foto yang terakhir)