MAAF MAS ALAMENDAH, SAYA PERNAH TERLIBAT DALAM PERUSAKAN HUTAN DAN LINGKUNGAN


Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Mas Alamendah menantang untuk menulis tentang apa saja terkait Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2011.

Sepintas, tantangan menulis ini mudah, ringan dan tidak menguras keringat. Siapapun tentu terpikat dengan tantangan ini yang memang menjadi bagian dari kepedulian komunitas blogger terhadap lingkungan hidup, lingkungan kita sendiri.

Tidak bagi saya. Tantangan ini terasa berat, bahkan terkadang muncul rasa malu. Sebab saya berlatar belakang pendidikan geologi. Bidang ilmu yang erat kaitannya dengan tema ini.

Dua hal penting yang saya tempuh selama masa pendidikan, adalah eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.

Ketika kemudian terjadi pergeseran pola pemikiran, saya tidak lagi tertarik dengan hal itu.

Terlebih lagi, pada pertengahan 1997, saya pernah bergabung di KONPHALINDO (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia). Sebuah LSM yang dipimpin Hira Jamtami.

Meski hanya sebentar bekerja di LSM tersebut, pemikiran Hira dan rekan-rekan di KONPHALINDO, semakin mengukuhkan cara pandang saya seputar lingkungan hidup.

Tetapi, ini soal klasik, tuntutan ekonomi mendorong saya untuk memilih bidang pekerjaan yang sesuai dengan jalur pendidikan yang saya tempuh.

Alhasil, beberapa kali saya bekerja di perusahaan pertambangan batu bara. Diantaranya pernah menjadi well site geologist, assisten validitas data hingga foreman (mandor) dumptruck. Dari yang berstatus karyawan kerja kontrak hingga berstatus karyawan permanen. Tentu saja, salarinya lebih dari cukup menurut ukuran saya.

Ketimpangan

Sungguh, saya tidak nyaman. Ada rasa gelisah. Itu lebih kepada kerusakan alam yang saya lihat dan ketimpangan ekonomi masyarakat di sekitar lokasi penambangan.

Tetapi saya tidak hendak bercerita seputar ekploitasi batu bara. Ada banyak teman saya yang masih bekerja di sana. Saya tidak ingin mengusiknya dengan tulisan yang dapat menimbulkan persepsi munafik.

Saya hanya ingin menulis tentang tanah warga yang berada dalam areal penambangan.

Kisah ini terjadi pada 2007,  di areal tambang Sei Siring, Samarinda, Kaltim.

Apabila tanah yang dimiliki warga termasuk dalam peta ekploitasi, maka sistem ganti ruginya dihitung dari jumlah tonase batu bara yang ada di dalam tanah warga tersebut.

Dengan kata lain, seorang warga (sebut saja A) di dalam tanahnya berhasil di ekploitasi batu bara berjumlah ratusan ton, tentu akan mendapatkan jumlah rupiah yang lebih besar dari warga yang tanahnya hanya menghasilkan puluhan ton batu bara.

Ketika itu, 2007, satu ton batu bara dihargai Rp.1000,-. Jika batu bara yang berhasil diangkut ke dalam dumptruck mencapai 1000 ton, tentu dia akan mendapatkan Rp. 1 juta,-.

Namun demikian, tetangga lain (sebut saja B), yang tanahnya berjarak sekitar 50-100 meter dari tanah milik A, bisa saja hanya mendapatkan kurang dari Rp.1 juta,-

Mengapa demikian?

Sebab, lapisan batu bara di dalam tanah memiliki kemiringan berbeda. Jika posisi batu bara di tanah milik A berada dekat permukaan dengan kemiringan ke arah tanah milik B, maka tentu hasil eksploitasi batu bara di tanah milik A akan jauh lebih banyak didapatkan dibandingkan dengan hasil eksploitasi batu bara di tanah milik B.

Misalkan, batu bara yang berada di dalam tanah milik A berkedalaman 5 meter di atas permukaan tanah. Sedangkan kemiringan lapisan batu bara mencapai 20-30 derajat, maka lapisan batu bara akan menjadi semakin dalam. Dalam kondisi tertentu, lapisan batu bara yang terlalu dalam, cenderung tidak dieksploitasi.

Di sinilah ironisnya, warga A dan warga B memiliki tingkat keberuntungan yang bisa jadi jauh berbeda dalam kaitan kandungan batu bara yang ada di dalam tanah milik mereka.

Padahal, di atas permukaan tanah, keduanya memiliki kebun yang ditanami dengan jenis tanaman yang sama. Bahkan mungkin luasnya sama.

Sementara itu, tingkat kerusakan tanah (baca:alam) sebagai hasil eksploitasi tersebut sama saja. Tanaman dan hutan musnah. Tanah subur itu berubah menjadi danau baru berkedalaman puluhan hingga ratusan meter.

Batu bara di Kalimantan, mungkin akan habis total dalam 50 tahun ke depan.  Dan saya pernah terlibat dalam perusakan hutan dan lingkungan di sana.

 

BaNi MusTajaB

 Catatan:

Selanjutnya, Pembaca dapat menilai sendiri dari foto-foto koleksi pribadi saya.

 

Penulis: M Agus Siswanto

https://gus7.wordpress.com (Blog BaNi MusTajaB). Blog ini sekadar kumpulan tulisan pribadi maupun orang lain. Tentu yang saya anggap menarik. Terkadang ada tulisan ringan, tapi tidak sedikit yang bikin pusing. Semoga bermanfaat. Aamiin. Penulis: M Agus Siswanto Mantan Jurnalis Majalah Misteri,Jakarta. email: maniakgaib@gmail.com 08176645205

18 tanggapan untuk “MAAF MAS ALAMENDAH, SAYA PERNAH TERLIBAT DALAM PERUSAKAN HUTAN DAN LINGKUNGAN”

  1. eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang sesuai dengan aturan saya kira nggak masalah Kang.

    @
    Iya Bang Iwan, saya setuju…..tapi saya memang telah mengambil keputusan…entahlah kelak..

    Suka

  2. Terima kasih akhirnya ikut menjawab “Tantangan untuk Para Blogger”.

    Saya jadi teringat teman saya yang pernah jadi aktivis pecinta alam. Lantaran desakan ekonomi dan meninggalnya sang Ayah sebagai tulang punggung keluarga ia terpaksa kerja di industri furniture yang ternyata sebagian besar kayunya didapatkan secara ilegal. Pertentangan batin tidak bisa dihindari.

    Suka

  3. Selama yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan hingga timbal baliknya jelas, serta selagi tidak berlebihan itu wajar-wajar aja. Angkat topi untuk hadirnya pemikiran yang terkait.
    Salam!

    Suka

  4. Sampai saat ini aku masih merasa jauh dari kehidupan yang berwawasan lingkungan.
    Tas plastik, kotak makanan yang tidak ramah lingkungan dan masih banyak lagi yang masih kita gunakan dalam hidup sehari-hari.

    Sampai ketemu di pesona lingkungan dalam Amprokan Blogger 2011 di Bekasi.

    Salam sehati.

    Suka

Tinggalkan komentar