KEBERANIAN MENEGUR SANG PENGUASA


images5Sejarah mencatat sejumlah kisah seputar keberanian menegur penguasa. Tentu saja, keberanian yang tidak melampaui batas kesopanan (syaja’ah adabiyah). Tujuannya, tidak lain, agar sang penguasa tidak mabuk kekuasaan yang malah menyengsarakan rakyatnya.

Sebagaimana diketahui, sejarah Islam mencatat sejumlah contoh keberanian orang-orang dalam menegur penguasa.

Dikisahkan, saat Khalifah Umar bin Khattab mengucapkan khutbah pengangkatannya dan mengatakan bahwa ia akan berlaku adil, maka tiba-tiba seorang Badui berdiri dengan pedang terhunus sambil berkata,

“Jika engkau tidak benar, maka pedangku inilah yang akan meluruskan Umar bin Khattab.”

Karakter yang demikian itu terjadi karena  orang tersebut menganggap dirinya bertanggung jawab kepada Tuhan untuk mengingatkan para penguasa agar mereka tidak larut dalam kekuasaan.

Kisah lain saat  Syuaib bin Harb menegur Khalifah Harun ar Rasyid.

Dikisahkan,dalam suatu perjalanannya ke Mekkah, Syuaib melihat Khalifah Harun ar Rasyid. Dia merasa telah datang kesempatan untuk melepaskan kewajiban memberikan nasehat tentang amar maruf nahi mungkar.

Ketika itu orang-orang berkata kepadanya,

“ Jangan kamu berbuat yang demikian, karena orang ini (khalifah) kejam. Apabila engkau mengecam tingkah lakunya, ia menyuruh pengawalnya untuk membunuh engkau.”

Bagaimanapun juga aku mesti berbuat demikian,” Jawab Syuaib.

Ketika Khalifah semakin dekat ke arahnya, Syuaib pun berteriak,

“Hai! Harun, engkau sudah menyusahkan rakyatmu, sekarang engkau menyusahkan pula binatang kendaraanmu.”

Khalifah lalu memerintahkan pengiringnya membawa Syuaib menghadapnya. Ketika itu Khalifah duduk di atas kursi bertahtakan permata, sambil mempermainkan cambuk di tangannya.

Dari golongan mana orang ini?” Tanya Khalifah.

Aku dari golongan manusia yang fana,” Jawab Syuaib.

Apakah engkau ini anak buangan ibumu?”Tanya Khalifah mengejek.

Aku ini dari keturunan anak Adam,” balas Syuaib.

Apa yang menggerakkan engkau memanggilku dengan nama kecilku?

Mendengar perkataan khalifah tersebut, Syuaib pun merasakan dalam hatinya sudah datang saat untuk menyampaikan uneg-uneg yang  sudah lama dipendamnya.

Syuaib  berkata,

“Tuhan pun kupanggil dengan namanya sendiri. Aku panggil selalu ya Allah, ya Rahman. Mengapa aku tidak boleh memanggilmu dengan namamu? Apa yang dapat menghalangi seruanku dengan namamu?

Bukankah engkau tahu, bahwa Tuhan menamakan makhluknya yang sangat tercinta dengan nama yang sederhana, yaitu Muhammad? Mengapa aku harus memanggil dengan gelar, sedangkan Tuhan memanggil makhlukNya yang sangat dicintaiNya dengan nama biasa.

Apakah engkau suka kupanggil dengan gelar, seperti Tuhan pernah memanggil orang yang sangat dibenciNya dengan gelarnya, yaitu Abu Lahab…tabbat yada Abi Lahab..celakalah kedua tangan Abu Lahab.”

Mendengar keberanian Syuaib mengeluarkan isi hatinya, seketika Khalifah Harun ar Rasyid berkata, “Keluarkanlah orang ini.”

Demikianlah kita lihat keberanian dalam menegur penguasa. Meskipun agak sukar kita memahaminya, tetapi dalam kisah itu terselip hikmah keberanian dalam menyampaikan amar maruf nahi mungkar yang terjalin dalam susunan kalimat ma’nawi yang halus.

Kejadian-kejadian seperti itu sesungguhnya banyak terdapat dalam sejarah Islam. Pada intinya, di satu sisi menunjukkan keberanian menegur yang salah, dan di sisi lain memerlihatkan toleransi para penguasa dan pembesar Islam pada masa itu dalam menyambut nasehat dari siapapun datangnya.

Contoh lain saat Khalifah Mansur dalam khutbahnya mengatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, tiba-tiba bangunlah seorang jamaah yang hadir sambil berkata,

“Saya peringatkan engkau kepada nama Allah yang engkau sebutkan itu.”

Teguran keras ini membuat Khalifah terpaksa menambah dalam khutbahnya pengakuan, bahwa ia akan patuh mentaati perintah Allah yang diperingatkan itu, dan ia minta berlindung dengan nama Allah tersebut dari menjadi seorang penguasa yang kejam dan maksiat.

Penguasa-penguasa yang tidak mempunyai toleransi dan tidak mau menerima teguran,  biasanya merasa tersinggung dan menghukum orang-orang semacam itu. Biasanya orang-orang berani itu siap menerima hukuman dengan sabar.

Keberanian Fudhail bin Iyadh

Kisah keberanian menegur penguasa juga ditunjukkan Fudhail bin Iyadh, seorang ulama besar, saat berhadapan dengan Khalifah Harun ar Rasyid.

Dikisahkan, pada suatu malam Khalifah ditemani sahabatnya bernama Ibn Rabi datang ke rumah Fudhail bin Iyadh.

Ketika sampai di depan pintu rumah, mereka mendengar Fudhail membaca Al Qur’an.:

Adakah patut orang-orang yang berbuat jahat itu mengira, bahwa kami menjadikan mereka itu sama dengan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, di waktu hidup atau dikala mati mereka? Alangkah jahatnya tuduhan mereka itu.”(Q:S; 45:21).

Khalifah terharu mendengarnya dan berkata kepada sahabatnya itu bahwa apa yang barusan didengarnya  merasuk ke dalam hatinya.

Kemudian Ibn Rabi mengetuk pintu sambil berkata kepada pemilik rumah bahwa Khalifah ingin bertemu.

Fudhail menjawab dari dalam rumah, ” Apa perlunya khalifah bertemu Fudhail?”

Ibn Rabi berkata lagi,” Mudah-mudahan ada faedahnya pertemuan khalifah dengan Anda.”

Fudhail bin Iyadh  membuka pintu dan langsung membawa kedua tamunya ke dalam sebuah kamar sempit yang sudah dipadamkan lampunya.

Di dalam kamar gelap gulita itu, Fudhail menyentuh tangan Khalifah sambil berkata,”Wahai orang yang tangannya demikian halus dan lembut, alangkah berbahagia jika engkau terlepas dari azab Tuhan di hari kemudian nanti.”

Selanjutnya Fudhail bercerita, pada suatu hari tatkala Umar bin Abdul Aziz dinobatkan menjadi khalifah, dia memanggil tiga orang alim untuk memberikan petunjuk, yaitu Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka’ab al Qurzi dan Raja bin Hiwan. Khalifah Umar berkata kepada ketiganya bahwa dengan penobatan ini dirinya mendapat bala, karenanya dia minta diberi nasehat.

Berkatalah Salim bin Abdullah, “Jika tuan menghendaki lolos dari azab Tuhan, hendaklah tuan puasa menahan diri dari dunia ini. Dan jadikanlah buka puasamu itu berarti mati buat tuan.”

Muhammad bin Kaab berkata, “ Jika tuan ingin terlepas dari azab Tuhan, hendaklah tuan  menjadikan diri ayah orang Islam terbesar, menjadikan saudara orang Islam menengah dan menjadikan anak orang Islam kecil. Maka besarkanlah ayah tuan itu, muliakanlah saudara tuan itu dan cintailah anak anak tuan itu.”

Raja bin Hiwan berkata,”Jika tuan ingin terbebas dari azab Tuhan, hendaklah tuan mencintai orang-orang Islam itu sebagaimana mencintai diri tuan sendiri dan membencinya dengan apa yang tuan benci. Kemudian bolehlah tuan mati menutup mata.”

Setelah bercerita itu, Fudhail berkata kepada Khalifah Harun,

Maka nasehatku kepadamu, wahai Harun. Aku ini sangat takut dengan dirimu pada hari kedudukanmu tergoyah. Adakah orang yang akan menyampaikan kepadamu nasehat-nasehat seperti itu?”

Seketika menangislah Khalifah Harun mendengar kata-kata Fudhail. Khalifah menangis sambil menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Melihat keadaan itu, Ibn Rabi berkata kepada Fudhail agar memperlunak kecamannya terhadap khalifah.

Namun Fudhail malah berkata keras kepada Ibn Rabi, “Engkau sudah membunuh dia. Apakah sekarang aku harus berlunak diri terhadapnya?”

Perkataan Fudhail tersebut bermakna bahwa Ibn Rabi sebagai sahabat Khalifah tidak lebih dari penjilat belaka.

Sesudah tangis Khalifah Harun mereda dan mulai tenang kembali, dia minta diberi lagi nasehat dari ulama itu.

Fudhail ibn Iyadh meneruskan perkataannya,

“Wahai Amirul Mukminin, pernah disampaikan kepadaku suatu cerita bahwa ada seorang pegawai kerajaan yang mengecam kebijakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Maka Khalifah ini menulis surat kepadanya, wahai saudara, saya peringatkan dikau dengan kekurangan tidur orang-orang yang disiksa dalam neraka, penderitaan ini tidak ada habisnya. Mudah-mudahan engkau tidak dapat nasib malang yang demikian itu.

Sesudah pegawai pengecam Khalifah Umar membaca surat itu, dia justru mendatangi  Khalifah. Atas pertanyaan Khalifah, mengapa ia datang, ia menjawab surat tuan itu sangat membekas dihatinya. Sehingga dirinya tidak ingin kembali ke desa itu sampai dirinya menemui Allah Azza wa Jalla.”

Maksudnya adalah bahwa pegawai yang pernah mengecam Khalifah itu justru merasa aman berada dekat Khalifah, karena merasa yakin Khalifah tidak marah dengan kecamannya. Sebaliknya, jika ia berada di desanya, justru keselamatannya terancam oleh orang-orang yang marah karena dirinya telah mengecam Khalifah.

Fudhail bin Iyadh juga bercerita bahwa suatu hari Nabi SAW didatangi pamannya Abbas ra. Dia memohon kepada Rasulullah SAW agar dirinya diangkat menjadi raja di suatu wilayah.

Nabi SAW bersabda, “Wahai paman, adakah engkau tahu, apakah arti kerajaan itu? Kerajaan ialah kerugian, kesebalan dan penyesalan di hari kiamat. Jika engkau sanggup, berusahalah agar engkau jangan menjadi raja. Perbuatlah yang demikian itu.”

Setelah bercerita panjang,  Fudhail pun berkata kepada Khalifah Harun,

Wahai kekasihku, engkaulah yang akan ditanya dan dirimu akan diminta pertanggung jawaban terhadap rakyatmu pada hari kiamat.

Maka oleh karena itu, jika engkau sanggup, takutilah Tuhanmu. Jauhilah pagi dan petang sesuatu yang merupakan tipuan terhadap rakyatmu.”

(Maksudnya, jangan suka membohongi rakyatnya sendiri).

Tangis Khalifah Harun pecah kembali. Dadanya merasa sesak mendengar perkataan yang dilontarkan Fudhail. Meskipun kata-kata Fudhail sangat menusuk kalbu, namun Khalifah merasa hal itu sebagai sebuah pelajaran mahal yang harus diterimanya dari seorang ulama yang memang terkenal berani dalam memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar.

Beberapa saat kemudian, Khalifah pamit pulang sambil berkata kepada Fudhail.

Wahai Fudhail, apakah engkau mempunyai hutang?” Tanya Khalifah.

Saya punya hutang untuk Tuhanku tidak terhitung banyaknya. Celakalah saya, jika dimintanya. Celakalah saya jika ditagih dan celakalah saya jika saya tidak diberi ilham menyampaikan hajat tujuan saya,” Jawab Fudhail.

Bukan itu maksudku. Apakah engkau mempunyai hutang sesama manusia?Jika punya hutang, biarlah aku yang melunasinya,” kata Khalifah.

Tuhanku tidak menyuruhku berbuat demikian. Allah itu satu-satunya yang memberi rezeki kepada hambaNya,” Jawab Fudhail.

Ketika itu Khalifah Harun hendak memberikan seribu dinar untuk biaya hidupnya dan biaya keluarganya yang dikatakannya untuk menguatkannya beribadah.

Namun Fudhail ibn Iyadh menampik sambil berkata,

Subhanallah…..aku menunjukkan kamu kepada jalan yang benar dan kamu tega membalasnya dengan penghinaan ini.”

Demikian contoh  sikap berani menegur penguasa yang ditunjukkan Fudhail bin Iyadh. Seorang ulama dan tokoh sufi yang namanya masyhur hingga kini. Semoga Allah SWT meridhoinya.amin…

Pembaca Budiman,

Keberanian dalam menegakkan amar maruf nahi mungkar tidak membutuhkan penonton. Saya dan Anda adalah pelaku di dalamnya. Semoga….

AGUS SISWANTO

Penulis: M Agus Siswanto

https://gus7.wordpress.com (Blog BaNi MusTajaB). Blog ini sekadar kumpulan tulisan pribadi maupun orang lain. Tentu yang saya anggap menarik. Terkadang ada tulisan ringan, tapi tidak sedikit yang bikin pusing. Semoga bermanfaat. Aamiin. Penulis: M Agus Siswanto Mantan Jurnalis Majalah Misteri,Jakarta. email: maniakgaib@gmail.com 08176645205

19 tanggapan untuk “KEBERANIAN MENEGUR SANG PENGUASA”

  1. Jika keyakinan tersebut tertanam kuat pada jiwa kita dan kukuh bersemayam dalam hati kita, maka setiap bencana akan menjadi karunia, setiap ujian menjadi anugerah, dan setiap peristiwa menjadi penghargaan dan pahala.

    Dengan Mengatsi Permasalahan Yang Kecil; Maka, Kita Akan Mengatasi Permasalahan Yang Besar.

    Sukses selalu mas

    Salam ~~~”Ejawantah’s Blog”

    Suka

  2. Yang jadi pertanyaan sekarang ini, apakah masih ada penguasa seperti Umar bin Khattab, Harun al-Rasyid, dan Mansur?. Apakah masih ada rakyat seperti Syuaib bin Harb, dan Fidhail bin Iyadh ? Saya yakin masih ada, tapi tidak punya keberanian untuk itu.

    Atau mungkin yang paling banyak sekarang manusia sejenis Abu Jahal saja ?

    Terima kasih Mas, sebuah pembelajaran yang sangat kita butuhkan.
    Salam.

    Suka

  3. Kita sebagai makhluk Tuhan sama2 mempunyai hak dan kewajiban yg sama. dan apa salahnya bila kita saling mengingatkan yang salah. Nice artikel dan saya tunggu kunjungan di blog saya.thx

    Suka

  4. pada dasarnya pemimpin yang baik harus mau menerima kritikan,, apalagi kritikan itu untuk kebaikan. Sebaiknya artikel ini dibaca oleh para pemimpin bangsa kita ^0^

    Suka

  5. Hmm it appears like your web site ate my initial comment (it absolutely was super long) so I assume I’ll just sum it up what I wrote and say, I’m totally enjoying your blog. I too am an aspiring blog blogger but I’m still new to everything. Do you have got any helpful hints for rookie blog writers? I’d genuinely appreciate it.

    Suka

  6. it’s my second comment for this post. i just did abt 4 days ago as the title says. u know what i got? my boss cried at me: your attitute is very bad, just like u dont know how to create words in a meeting!!!!

    Suka

Tinggalkan komentar