giGolo Pribumi Go International-Para Koboi Cengeng di Surga

Saya hanya ingin sedikit mengemukakan pendapat bahwa seseorang yang berkeinginan membuat film dokumenter, betatapun amatirnya orang tersebut, tentu tidak dapat menyusun skrip tanpa melalui riset terlebih dahulu. Meskipun risetnya tersebut tergolong amatiran, bodoh dan tidak ilmiah sama sekali.


Wajah indah Pulau Bali agaknya tercoreng. Tetapi kali ini bukan disebabkan ledakan bom. Melainkan ledakan sebuah film amatir garapan Amit Virmani.

Wajah indah Pulau Bali memang sempat terluka saat terjadi 2 kali ledakan bom yang merenggut ratusan nyawa. Ketika itu ada banyak wisatawan yang urung berkunjung, semata-mata demi keamanan diri.

Peristiwa keji yang tidak akan pernah lepas dari nama Amrozi dan Imam Samudera itu tercatat menjadi bagian kelam dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Siapapun mengutuk kejadian keji itu dan siapapun tentu berduka dengan hilangnya nyawa ratusan orang tak bersalah.

Dua peristiwa itu sudah menjadi bagian dari sejarah. Sejumlah sineas pun mengabadikannya dalam film Long Road To Heaven.

Lost in Paradise

Sebelum film Long Road To Heaven ini dirilis, konon judul awalnya adalah Lost in Paradise. Secara kebetulan, saya sempat melihat casting sejumlah peran penting dalam film ini di studio Kalyana Shira film. Sejumlah orang yang merasa memiliki kemiripan wajah dengan tokoh aslinya, seperti: Hambali, Amrozi, Imam Samudera, dan lain-lain,beradu untung agar dapat berperan dalam film prestisius ini.

Judul film Lost in Paradise inilah yang menggelitik saya saat muncul film heboh berjudul Cowboys in Paradise.

Tentu saja film yang disebut terakhir ini mengguncang kesadaran batin kita. Bahkan lebih tepat dikatakan melukai standar moralitas yang selama ini begitu kuat melekat dalam tradisi masyarakat Bali.

Kita tentu tersinggung, marah dan wajib mencela siapapun yang terlibat dalam pembuatan film tersebut. Dan yang paling patut kita cela adalah sang pengggas ide film amatiran ini.

Tetapi apa daya, film itu sudah terlanjur beredar. Setidaknya melalui trailernya yang banyak beredar di internet.  Keingin tahuan masyarakat semakin menguat, manakala film ini ramai diperbincangkan.

Fakta atau Fiksi

Persoalan yang mengemuka adalah, apakah film itu fiksi khayalan belaka atau realitas yang sesungguhnya?

Pertanyaan berikutnya adalah, apakah film itu mencoreng keindahan Pulau Bali, khususnya menyangkut aspek moralitasnya?

Tentu saja ada banyak jawaban yang dapat disodorkan. Jawabannya pun dapat pro dan kontra. Masing-masing memiliki pendapat berbeda sesuai pengalamannya masing-masing.

Saya hanya ingin sedikit mengemukakan pendapat bahwa seseorang yang berkeinginan membuat film dokumenter, betatapun amatirnya orang tersebut, tentu tidak dapat menyusun skrip tanpa melalui riset terlebih dahulu. Meskipun risetnya tersebut tergolong amatiran, bodoh dan tidak ilmiah sama sekali.

Fakta?

Sejujurnya saya merasa kesulitan untuk menilai film amatiran ini tergolong film fiksi. Sebab memang ada realitas yang terekam kuat di dalamnya. Fakta adanya gigolo bukan sesuatu yang fiksi.

Gigolo bukan istilah baru di negeri ini. Ada banyak tempat bersarangnya komunitas pelacur pria ini. Moammar Emka menyinggung pula dalam bukunya Jakarta Undercover.

Dengan kata lain, gigolo adalah fakta yang keberadaannya ada di sekitar kita. Dimanapun kita berada. Dan kita tidak dapat mengingkari jika ada yang mengatakan gigolo tumbuh subur di Pulau Bali.

Media massa,  terutama majalah tertentu, pernah pula mengulas soal yang satu ini. Meski saya tidak ingat majalahnya, tetapi uraian cerita yang tertulis menunjukkan fakta adanya gigolo memang benar.

Lantas, mengapa kita bersikap seperti kebakaran jenggot saat seorang pria bodoh bernama Amit mengabadikannya dalam layar digital?

Haruskah kita mengingkari fakta ini? Ataukah mencoba mengambil hikmah dari kebodohan Amit?

Pelajaran

Secara pribadi saya pun merasa tersinggung bilamana sang pembuat film memang hendak menjatuhkan martabat pariwisata Pulau Bali.

Siapapun tentu merasa marah jika tempat tujuan utama  wisata di negeri ini tercoreng lantaran  ulah pria bodoh yang malah mengedepankan aspek prostitusi pria di pulau yang kental nuansa relijiusnya ini.

Tetapi saya menjadi tidak dapat marah jika kemudian saya menilai ada sisi positif yang mungkin dapat diambil dari film Cowboys in Paradise.

Adakah sisi positifnya?

Tentu saja ada. Misalnya, kita menjadi lebih cermat dalam upaya mengurangi dampak penyakit HIV/AIDS yang mungkin dapat ditularkan dari wisatawan perempuan asing melalui pelacur-pelacur pria tersebut.

Bahaya penyakit yang belum ada obatnya inilah yang sebenarnya jauh lebih mengkhawatirkan daripada sekadar tercorengnya pariwisata Pulau Bali.

Film Cowboys in Paradise menggugah kesadaran kita untuk lebih dapat mengantisipasi mewabahnya penyakit AIDS/HIV.

Ketika Amit mengungkap gigolo-gigolo yang bertebaran di pantai-pantai wisata Pulau Bali, terutama Kuta, kita justru menjadi lebih waspada terhadap endemik yang mungkin ditularkan dari wisatawan perempuan asing.

Jadi, marilah kita mencoba bersikap bijak. Bukan dengan cara membreidel film tersebut, atau merazia pria-pria di pantai yang diduga pelacur. Melainkan mengkampanyekan secara maksimal bahaya penyakit menular seksual.

Dengan cara demikian, kita berhasil menggagalkan upaya Amit yang hendak menjadikan gigolo pribumi siap lepas landas terbang melayang menjadi gigolo Go International.

BaNi MusTajaB

Catatan:

Ketika film Balibo dibredel, ada banyak orang berteriak. Khususnya para sineas. Mereka menuntut film itu dapat ditayangkan dan tidak diberangus. Bahkan dilakukan pula pemutaran khusus film ini.

Ketika ada upaya menghadang Cowboys in Paradise, tidak banyak yang teriak.  Khususnya para sineas. Mereka seolah diam membisu.

 

Penulis: M Agus Siswanto

https://gus7.wordpress.com (Blog BaNi MusTajaB). Blog ini sekadar kumpulan tulisan pribadi maupun orang lain. Tentu yang saya anggap menarik. Terkadang ada tulisan ringan, tapi tidak sedikit yang bikin pusing. Semoga bermanfaat. Aamiin. Penulis: M Agus Siswanto Mantan Jurnalis Majalah Misteri,Jakarta. email: maniakgaib@gmail.com 08176645205

33 tanggapan untuk “giGolo Pribumi Go International-Para Koboi Cengeng di Surga”

  1. Setahu saya masalah ini bukan hal baru. Pada awal tahun 90-an TVRI pernah menyajikan sinetron yang sangat bagus tentang fenomena sosial ketika gempuran industri pariwisata Bali begitu kuat. “Aksara Tanpa Kata” judul sinetron tersebut dibintangi Neno Warisman dan Renny Jayusman yang memerankannya dengan sangat bagus.

    Satu hal yang menarik, saat itu ditampilkan juga sekelumit seorang gigolo. Pada waktu itu sama sekali tidak dipermasalahkan, mungkin tertutupi oleh cerita sinetron ini yang sangat menarik.

    Oleh karena itu kisah para cowboys ini saya yakin merupakan fakta yang real.

    Terima kasih Mas atas ulasan yang menarik ini.
    Salam.

    Suka

  2. fenomena pilm itu, menurut saya lebih banyak dikendalikan media, di internet lebih banyak yg lebih parah…maksudnya yg negatif..seperti video2 “tdk nggenah” dll (doh)

    Suka

  3. Memang kita tidak dapat mengingkari bahwa banyak pelacur pria di sekeliling kita… Jagalah keluarga kita dari kemungkinan penyakit yang dibawa oleh mereka..

    Suka

  4. kenapa yg dipermasalahkan justru filmnya, teman saya ada yg bekerja dibali dan kenyataannya kata dia gigolo di bali sudah ada sejak lama dan sudah menjadi rahasia umum… lalu kenapa ketika film ini muncul lalu banyak yg teriak2 menyangkal keberadaan gigolo di bali…. aneh

    Suka

  5. arikel yang subjektif, catatan tentang film cowboy in paradise. film ini membuka mata kita efek dari sisi pariwisata selain punya sisi positifnya ternyata juga punya sisi negatifnya dan profesi gigolo bukanlah isapan jempol belaka dia (gigolo) ada dan bertebaran di antara kita.
    (thanks sudah mampir di blogku, di tunggu kunjungan berikutnya jangan lupa kasih komentar)

    Suka

  6. Yang pasti setiap filem meskipun diangkat dari kisah nyata, pasti tidak lepas dari dramatisasi untuk “memperindah” ceritanya 🙂

    Salam bentoelisan
    Mas Ben

    Suka

  7. Semua memang kembali kepada pribadi masing2, memang lebih mudah kita membicarakannya daripada merka mengalaminya, saya yakin mungkin bagi mereka itu semua dikerjakan karena terpaksa, mereka pikir tidak ada jalan lain.

    Suka

  8. Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597 , meskipun sebuah kapal Portugis sebelumnya pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585 . Belanda lewat VOC pun mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, akan tetapi terus mendapat perlawanan sehingga sampai akhir kekuasaannya posisi mereka di Bali tidaklah sekokoh posisi mereka di Jawa atau Maluku. Bermula dari wilayah utara Bali, semenjak 1840 -an kehadiran Belanda telah menjadi permanen yang awalnya dilakukan dengan mengadu-domba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai mati atau puputan yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya . Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah.

    Suka

Tinggalkan komentar