SEKADAR CATATAN: MENGAPA HUKUM TEMBAK (DIANGGAP) TIDAK MEMATIKAN?


Keputusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan tgl 21 Oktober lalu menolak permohonan Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera yang mempersoalkan hukuman mati dengan cara ditembak.
MK menyebutkan bahwa tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam pelaksanaan pidana mati. Semua mengandung risiko terjadinya ketidaktepatan yang menimbulkan rasa sakit.
Ketua majelis hakim konstitusi Mahfud MD saat membaca putusan MK mengatakan, bahwa dari berbagai alternatif tentang tata cara pelaksanaan pidana mati selain cara ditembak, seperti digantung, dipenggal, disetrum listrik, dimasukkan ke dalam ruang gas dan disuntik mati, semua menimbulkan rasa sakit meskipun gradasi dan kecepatan kematiannya berbeda-beda. Tak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam pelaksanaannya. Bahkan semuanya mengandung risiko terjadi ketidaktepatan dalam pelaksanaan yang menimbulkan rasa sakit. (Kompas tgl. 22-10-2008. Hal.3)
Polemik hukum tembak ini mencuat dikarenakan Tim Pembela Muslim (pengacara Amrozi, dkk) menilai hukum tembak bisa menimbulkan penyiksaan. Jika tembakan meleset, terpidana mati akan mengalami kesakitan antara 7 sampai 11 menit, sebelum akhirnya benar-benar meninggal.
Keputusan MK di atas sekaligus mengakhiri polemik hukuman mati dengan cara ditembak. Dan Kejaksaan Agung rencananya akan mengumumkan eksekusi pidana mati terhadap Amrozi, dkk tanggal 24 Oktober 2008.
Tulisan ini sekadar ingin mengulas sedikit seputar mengapa hukuman tembak dinilai tidak mematikan. Dengan kata lain, sang korban masih bernafas, mengerang kesakitan, sebelum akhirnya diam membeku.
Kita semua tentu sepakat, tim yang ditugaskan untuk mengeksekusi hukum tembak terdiri dari orang-orang yang terlatih atau sudah mahir. Tidak ada keraguan sedikitpun mengenai kecakapan tim yang sudah dipersiapkan secara matang ini.
Tetapi ketika kemudian muncul polemik bahwa hukum tembak tidak mematikan, sebagaimana disinyalir Tim Pembela Muslim (TPM), tentulah ada alasan-alasan kuat yang diajukan. Tidak mungkin persoalan ini diajukan ke MK, jika tidak ada data sahih seputar akurasi hukuman tembak.
Jujur saja, penulis belum pernah melihat eksekusi, kecuali dalam aksi laga di layar film. Namun, penulis pernah mendengar cerita seputar prosesi hukuman tembak ini. Dan mungkin di sinilah letak persoalan mengapa hukum tembak seringkali tidak tepat merobek jantung sang korban.

SANG CALON KORBAN (TAMPAKNYA) TIDAK MUNGKIN DIAM
Secara naluriah, sepertinya tidak seorangpun yang merasa siap melangkah ke altar kematian. Terlebih lagi, jika itu berbentuk suatu arena hukuman mati. Meskipun jauh-jauh hari sebelumnya selalu diisi dengan aktifitas ibadah, tetapi ketika lonceng kematian berdentang, pastilah ada rasa ketakutan, gemetar dan sebagainya. Sepintas hal ini wajar saja.
Namun, jika dikaji lebih dalam, agaknya inilah yang menyebabkan peluru yang dibidikkan tidak tepat merobek jantung sang korban.
Sebagaimana umum diketahui, regu tembak hanya berada beberapa meter dari sang calon korban. Sementara sang calon korban biasanya berdiri dengan kepala tertutup dan tangan terikat. Biasanya tubuh sang calon korban ini juga diikat pada sebuah tiang. Semata-mata agar sang calon korban tetap tegak berdiri ditempatnya.
Persoalannya adalah, ketika regu tembak telah siap membidikkan senjata ke arah korban, apakah sang korban diam saja menunggu detik-detik peluru meluncur menembus jantungnya?
Ada beberapa kemungkinan yang terjadi.
Pertama, korban diam saja dan tetap berdiri tenang menunggu datangnya kematian.
Kedua, korban gemetar ketakutan, menangis menghiba, dan tidak tertutup kemungkinan pula menjerit-jerit atau berteriak disaat regu tembak telah siap membidikkan senjatanya.
Andaikan saja sang calon korban berada pada kemungkinan yang pertama, maka tampaknya peluru yang beterbangan akan tepat mengenai jantung sang korban. Mengapa demikian?
Karena regu tembak yang terlatih dan bermental kuat tersebut tidak terganggu apapun. Suasana begitu senyap dan tenang. Regu tembak hanya menunggu saja aba-aba dari komandannya, “Tembak..!”
Dapat dipastikan, akurasi tembakan 100 persen. Peluru yang lebih dari satu akan meluncur bersamaan menuju satu target: jantung.
Lantas bagaimana dengan kemungkinan yang kedua?
Dalam amatan penulis, ketidaktepatan peluru menembus jantung dapat terjadi andaikan sang korban menangis, menjerit atau bahkan berteriak.
Misalkan saja, sang korban berteriak keras menyebut nama Tuhannya secara terus menerus dengan intonasi nada yang keras. Hal ini tentunya sedikit banyak mengganggu konsentrasi tim regu tembak. Bagaimanapun terlatihnya mereka menghadapi situasi ini, secara naluriah tidak tertutup kemungkinan tim tersebut terganggu konsentrasinya.
Seandainya dalam situasi seperti ini, tiba-tiba saja sang komandan mengeluarkan aba-aba: “Tembak!”, agaknya peluru yang berhamburan bisa saja tidak mengarah tepat ke arah target (jantung).
Lalu yang terjadi adalah, sang korban merintih kesakitan, nafas tersengal-sengal, meski hanya dalam hitungan detik atau beberapa menit saja. Sebelum pada akhirnya sang korban menghembuskan nafas terakhir. Tragisnya adalah apabila peluang hidup dinilai masih agak panjang, tentunya sang komandan akan menyelesaikannya dengan tembakan mematikan dari jarak yang lebih dekat.
Dari uraian di atas, maka yang menjadi perhatian tentulah kepada sang calon korban agar lebih bersikap tenang, pasrah dan ikhlas menerima saat-saat akhir dalam hidupnya.
Kalaupun sang calon korban secara berulang-ulang menyebut nama Tuhan atau membaca ayat-ayat suci, hendaknya dilantunkan dengan suara lirih seperti bisikan halus. Di sinilah peran penting rohaniawan (ulama, kyai) dalam membimbing sang calon korban.
Semoga khusnul khotimah.

BaNi MusTajaB

Tulisan terkait:

eksekusi amrozi cs benarkah hukum pancung lebih mematikan daripada ditembak?
eksekusi amrozi ali ghufron imam samudera dipancung atau ditembak?

Penulis: M Agus Siswanto

https://gus7.wordpress.com (Blog BaNi MusTajaB). Blog ini sekadar kumpulan tulisan pribadi maupun orang lain. Tentu yang saya anggap menarik. Terkadang ada tulisan ringan, tapi tidak sedikit yang bikin pusing. Semoga bermanfaat. Aamiin. Penulis: M Agus Siswanto Mantan Jurnalis Majalah Misteri,Jakarta. email: maniakgaib@gmail.com 08176645205

9 tanggapan untuk “SEKADAR CATATAN: MENGAPA HUKUM TEMBAK (DIANGGAP) TIDAK MEMATIKAN?”

  1. yaelaaah…biar mau dihukum mati bagemanapun juga..tetep aja yang namanya dihukum mati itu menyakitkan..ngga usah ditembak, dipancung, disuntik, digantung, dll..orang mati karena sakit aja, pas dicabut nyawa pasti doi speechless..
    tu kan karena doi nahan rasa sakit.. ih padahal beberapa persen rasa sakit ketika dicabut nyawa udah digantikan ..ya..
    begitu aja masih sakit minta ampun…

    Suka

  2. Lho kok mereka ngebom,
    emang yang kena bom juga langsung mati ?
    gimana tuh yang cacat seumur hidup menderita seumur hidup mereka ?
    Jadi kalau dibanding yang 7-11 menit lebih tersiksa mana ?

    Suka

  3. setauku nih ya, kalo eksekusi make ditembak peluruna juga cuman 1.jadi misal regu tembak ada 10 0rang, nah yang ada peluruna hanya 1, yang 9 kosong.tapi kalo misalnya dibius total dulu gimana?
    kan jadina mereka ga ngrasain sakit?

    Suka

  4. Gue usul nih gimana kalau hukumanan matinya dengan cara dikitikin.

    Saya jamin deh matinya bukan dalam keadaan kesakitan tapi kegelian.

    Suka

  5. Seharusnya mereka (Amrozi Cs) dieksekusi mati dengan cara di bom. Ya.. dibom dengan bom yang sama persis dengan bom yang mereka gunakan untuk membom kafe. Bom yang menurut yang menurut penyidikan polisi mengandung C4. Nah, C4 itu hanya bisa didapat dari negera adidaya macam Amerika.
    Salut deh buat kejaksaan dan kepolisian kalau bisa membuat bom dengan komposisi dengan bom digunakan untuk membom kafe di bali.

    Suka

  6. Artikel-artikel di blog ini bagus-bagus. Coba lebih dipopulerkan lagi di Lintasberita.com akan lebih berguna buat pembaca di seluruh tanah air. Dan kami juga telah memiliki plugin untuk WordPress dengan installasi mudah. Salam!

    Suka

  7. Kata joe vialls (dosen ahli bom dari australia) berkata : kalau ada orang yang percaya bahwa bom yang menyebabkan kematian 202 korban bom bali 1 dan menimbulkan kerusakan yang seperti itu adalah bom buatannya amrozi dan kawan-kawan, bukannya dia orang bodoh tetapi idiot. Karena pada saat itu ada bom mikro nuklir dari pihak ke tiga yang dibarengkan disitu.

    Suka

  8. Seharusnya bagi orang sadis hukuman tembak belum setimpal, menurut gue nih cocoknya dagingnya dicuilin dikit-dikit dan sebelum disekamarin dulu ama Sumanto biar stresss.

    Suka

Tinggalkan komentar