BELAJAR DARI KETIDAKBERSAMAAN SBY-JK


AGUS SISWANTO

Pemilu legislatif hanya dalam hitungan hari. Tentu ada yang menang dan kalah. Ada yang bergembira ria, tapi ada juga yang menangis pilu. Ada yang berpesta pora, tetapi ada juga yang stress, sakit atau malah gila.

Bilamana semuanya lancar, pemilu berikutnya adalah menentukan siapa yang akan menjadi orang nomor 1 dan nomor 2 di negeri ini.

Selama 5 tahun terakhir, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) memimpin negara ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dalam versi pemerintah tentu kepemimpinan mereka dianggap berhasil. Namun demikian, pemberitaan seputar gizi buruk, kenaikan BBM pada 2008, melonjaknya pengangguran, meningkatnya jumlah kemiskinan dan bertambah lebarnya jurang antara kaya dan miskin, selalu menghiasi media massa.

Sekadar kilas balik, kita mungkin masih ingat tragedi Pasuruan pada Ramadhan 1429 H lalu. Ketika itu 21 korban jiwa melayang hanya gara-gara rebutan zakat mal dari seorang pengusaha. Itulah tragedi paling memilukan sekaligus memalukan di negeri ini. Ribuan orang kepanasan berdesak-desakan mengantri pembagian zakat hingga menimbulkan korban kaum wanita lemah tidak berdaya dan miskin. Sebagian pengamat menilai tragedi Pasuruan seolah mewakili carut marutnya kehidupan masyarakat negeri ini.

Begitu pula halnya tahun 2006. Tragedi Lumpur Lapindo Sidoarjo merupakan tragedi yang belum terselesaikan secara tuntas dalam pemerintahan SBY-JK. Ganti rugi yang belum beres dan yang sangat disesalkan adalah mereka yang terlibat langsung dalam tragedi itu tidak diseret ke meja hijau atau mendekam di balik jeruji besi. Mereka mencuci tangan dari kesalahan dan kebodohannya sendiri. Tragedi itu sangat sulit dilepaskan dari nama besar Bakrie (baca: Nirwan Bakrie). Bahkan hingga puluhan tahun ke depan.

Hal di atas hanya sebagian saja dari banyaknya tragedi yang terjadi selama masa pemerintahan SBY-JK. Tetapi kalau dikaji kembali, tentu kita masih ingat bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Ketika itu ratusan ribu orang menjadi korban. Tragedi itu mengawali pemerintahan SBY-JK yang baru seumur jagung.

Tragedi juga terjadi beberapa hari lalu. Pada dini hari Jumat 27 Maret 2009, tanggul Situ Gintung jebol. Jutaan meter kubik air menyapu ratusan rumah dan manusia. Tercatat sekitar 100 orang tewas dan puluhan lainnya hilang. Sebuah bencana yang terjadi di tengah kemeriahan kampanye di penjuru negeri menyambut hajat Pemilu 2009. Tragedi itu seolah hendak mengakhiri pemerintahan SBY-JK.

Dalam pandangan spiritualis, tragedi itu merupakan isyarat gaib ketidakcocokan pasangan SBY-JK. Persoalannya, adakah isyarat gaib seputar keadaan negeri ini di akhir pemerintahan mereka?

Dalam kaitan inilah, saya menghubungi Adi Suprayitno, spiritualis politis. Ya, sekadar berbincang seputar politik. Seadanya saja. Sekadar basa-basi. Berikut ini rangkumannya.

“SBY dan JK itu tidak saling cinta. Ibarat suami isteri yang menikah tapi tidak didasari cinta, “ kata Adi dengan raut senyum di bibirnya.

“Perkawinan yang tidak ada cinta itu bisa saja langgeng, tapi ya dipaksakan karena ingin menjaga nama baik keluarga. Kalau tidak tahan maka salah satu pasangan akan nyeleweng. Tapi kalau tidak dapat dipertahankan ya bercerai,” lanjutnya.

Lebih jauh dikatakan, perkawinan itu tidak boleh dipaksakan. Harus saling suka dan saling cinta. Semua itu harus didasari kejujuran. Perkawinan itu untuk seumur hidup, jadi harus sungguh-sungguh.

“Kalau untuk perkawinan saya setuju. Tapi untuk pemimpin negara ada batas waktunya, cuma 5 tahun. Jadi ya tidak harus saling cinta. Yang penting pandangannya (baca: kepentingannya) sama,” ujar saya memotong pembicaraan.

Mendengar perkataan itu, Adi menunjukkan ekspresi kesal. Sambil menghembuskan asap rokoknya, dia berkata lagi.

“Kamu jangan bodoh. Masa 5 tahun itu cukup lama untuk pemimpin. Tanggung jawabnya kepada rakyat sangat besar. Nasib ratusan juta orang dipertaruhkan. Makanya, kalau pemimpinmu dan wakilnya itu tidak saling cinta ya bisa kacau negaramu ini,”katanya.

“Buat apa kamu mencintai pemimpinmu jika diantara mereka saja tidak saling cinta. Di mata kalian kelihatannya saja rukun, tapi dibalik itu semua ada ambisi untuk saling menguasai, saling menjatuhkan,” lanjutnya.

“Bersama kita bisa hanyalah slogan kosong. Yang terjadi justru ketidakbersamaan. Kalau tidak percaya, buka saja semua arsip berita tentang mereka,” kata Adi dengan nada tinggi.

Tentu saja saya teringat dengan slogan BERSAMA KITA BISA. Slogan yang ampuh memikat orang di 2004.

Adi menuturkan, pemimpin itu harus pintar memilih wakilnya. Tidak boleh sembarangan saja. Harus saling jujur diantara mereka. Jangan karena hendak menjadi pemimpin lalu memilih wakil yang dapat menunjang keinginannya menjadi pemimpin. Dan bukan dipilih atas dasar kecocokan dan kejujuran.

“Tetapi kami tidak pernah tahu apa yang ada di hati mereka. Pada awalnya kami hanya melihat SBY-JK itu pasangan yang cocok.Ideal. Kalau kemudian dalam masa pemerintahannya sering tidak sejalan, ya kami tidak tahu,” kilah saya.

“Alam raya ini sudah memberi isyarat. Tsunami itu kan isyarat alam tentang pemimpin kalian,” kata Adi sambil tangannya menunjuk ke arah langit.

“Sosok pemimpin itu harus percaya diri. Jangan setengah-setengah. Kalau memilih wakil ya harus yang sehati. Jangan karena mengharapkan dukungannya,” katanya lagi.

Saya agak terkejut juga mendengar perkataan itu. Terbersit pikiran apakah dulu SBY memilih JK sebagai wakilnya itu karena mengharapkan perolehan suara dari partainya JK yang besar (Partai Golkar) ataukah ada faktor lainnya.

Pada tahun 2004, partainya SBY (Demokrat) memang belum memiliki massa yang besar dan sosok SBY sebagai calon presiden pun belum diperhitungkan. Mungkin ini yang membuat SBY memilih JK sebagai wakilnya. Tentu dengan harapan perolehan suara dari partainya JK akan meningkat. Apakah ini menunjukkan SBY tidak percaya diri? Saya tidak tahu.

Selanjutnya Adi mengatakan lagi bahwa ada isyarat alam akan menunjukkan kemurkaannya di akhir pemerintahan SBY-JK.

“Kalian harus waspada. Ada isyarat alam akan murka lagi. Kalau ini benar-benar terjadi, kalian harus lebih hati-hati memilih pemimpin. Jangan mengulang kesalahan yang sama, ”katanya.

“Mungkinkah murka alam itu dapat dihindari?” Tanya saya.

Adi terdiam sejenak. Setelah itu dia berkata,

“Mereka harus secepatnya minta maaf kepada rakyat. Mudah-mudahan dengan begitu alam tidak murka,” katanya bernada memberi harapan kepada rakyat negeri ini.

“Mustahil SBY-JK mau minta maaf….,” kata saya memotong.

“Kenapa tidak? Ingat, George bush juga minta maaf kepada rakyatnya saat konferensi pers terakhir. Dia mengaku menyesal membohongi rakyatnya soal senjata pemusnah massal di Irak,” kata Adi balas memotong.

“Jadi saya harus belajar apa dari ketidakbersamaan SBY-JK?”

“Slogan BERSAMA KITA BISA tentu saja baik, bagus dan benar. Tetapi jika itu hanya sebuah kamuflase untuk menutupi ketidakbersamaan, tentu tidak baik, bahkan jahat. Ada banyak orang yang terkelabui,” tandas Adi menutup obrolan kosong ini.Dia pun segera pergi.

“Jadi…?????”

 

Penulis: M Agus Siswanto

https://gus7.wordpress.com (Blog BaNi MusTajaB). Blog ini sekadar kumpulan tulisan pribadi maupun orang lain. Tentu yang saya anggap menarik. Terkadang ada tulisan ringan, tapi tidak sedikit yang bikin pusing. Semoga bermanfaat. Aamiin. Penulis: M Agus Siswanto Mantan Jurnalis Majalah Misteri,Jakarta. email: maniakgaib@gmail.com 08176645205

6 tanggapan untuk “BELAJAR DARI KETIDAKBERSAMAAN SBY-JK”

  1. Tulisan yang menarik.

    “Buat apa kamu mencintai pemimpinmu jika diantara mereka saja tidak saling cinta. Di mata kalian kelihatannya saja rukun, tapi dibalik itu semua ada ambisi untuk saling menguasai, saling menjatuhkan,

    >
    Btw, AGUS SISWANTO itu siapa yah?

    Suka

  2. Sedikit berbau gaib

    Segudang kebingungan di otakku

    salam kenal dan mampir ya mas…..

    tukeran link yukkk
    @
    Gaib tidak berbau
    Jangan bikin gudang bingung di otak. sayang dong
    Terima kasih dah mampir. Link dah saya pasang.ok

    Suka

Komentar ditutup.